Teruntuk
patah hati terhebatku,
Apa yang sedang kamu kerjakan
hari ini, sayang? Aku tau kita berdua pasti lelah. Ingin kita berbagi cerita
seperti dulu. Tapi untuk saat ini, kita lebih memilih bungkam dan mengubur
keluh kesah untuk kita simpan sendirian. Bagaimana rutinitasmu? Lancar? Apakah
kamu tak ingin mendengarkan pendapatku ketika kamu sedang mendapatkan
kesulitan? Ya, seperti dulu. Maaf, aku sedikit bernostalgia, kenangan kita
terlalu sebentar untuk suatu keindahan yang sempurna.
Kemaren malam, aku bertemu
dengan sahabatku. Pria aneh itu. Ya, dia sahabatku sejak lama. Dia seperti
seorang konsultan bagiku. Dia mampu memberikan nasehat yang hebat, aku sendiri
tak menyangka dia bisa melakukannya. "Bro, dia kayaknya lebih milih cowok
itu lah. Kesempatan aku cuma dikit untuk bisa kembali dengan wanitaku itu. Apa
aku mundur aja ya?", belum sempat aku menyelesaikan tanyaku, PLAK!, dia
memukul kepalaku. "Apa yang kau katakan? Aku kenal kalian berdua. Aku juga
tau perjuangan kau dapatin dia gimana. Hanya karena pria yang baru sebentar
saja dikenalnya, kau menyerah?, dia berkata dengan keras. Aku masih membela
diriku, "Kau bayangkan saja, teman-temannya bahkan waktu wanitaku itu
sudah hampir semua dimilikinya.". Lagi-lagi, PLAK!, "Sori, ada nyamuk.
Wanita itu tak akan sayang secepat itu. Suka mungkin, sayang secepat itu
mustahil.". Aku merasa sedikit lega dengan jawaban yang aku dengar dan aku
juga bersyukur kepalaku diciptakan oleh Tuhan dengan bahan dasar yang keras,
bukan dari jelly. Tuhan itu Maha Pencipta.
Dia berkata dengan nada lirih,
"Dengar aku baik-baik, wanitamu itu, aku kenal dengan baik. Bukankah kau
dulu pernah berkata denganku kalau kau itu jenuh dengannya? Bukankah kau dulu
mengatakan dia childish? Tapi apa, dia masih memperjuangkanmu lagi, kan?
Sekarang, pemikirannya dewasa, bukan dia mencampakkanmu, mungkin saja dia
sedang menguji, apakah prianya masih memperjuangkan dia lagi?". Aku
berusaha memahami makna yang diucapkan oleh sahabatku itu. "Apa iya dia
ingin aku berjuang lagi?", ucapku. "Bagaimana bisa kau masih bertanya
seperti itu kalau kau sendiri udah tau jawabnya iya?", dia menimpali
tanyaku lagi dengan sebuah tanya.
"Apa yang harus aku
lakukan lagi? Aku ingin dia kembali.", tanyaku. "Kau itu sahabatku,
aku tau kau bukan anak kecil. Kau akan melakukan sesuai dengan konsep yang ada
dalam pikiran kau. Satu hal lagi, kau pernah patah hati sebelumnya, kan? Aku
adalah saksi hidup untuk semua kebodohan yang pernah kau buat sebelumnya.
Seperti dugaanku, kau sudah menyesali kebodohanmu kali ini dengan serius ya.",
jawabnya dengan nada datar. Sahabatku itu tau benar, otakku tidak bekerja
dengan benar ketika hatiku ini sedang rusuh. "Ya begitulah. Wanitaku itu,
dia orang yang untuk saat ini akan aku perjuangkan dengan benar.", aku
berkata dengan mantap. Kemudian, ada hening yang panjang di antara jeda
percakapan akhir kami itu.
Asal kamu tau, sayang, kalau
aku benar, apa yang aku pikirkan sama dengan yang kamu pikirkan saat ini. Kamu
berpikir, "Bagaimana caranya priaku itu berjuang? Bagaimana kalau dia
tidak berjuang sekeras dengan pria yang baru aku kenal ini?". Aku
berpikir, "Bagaimana caranya wanitaku itu mau melihatku berjuang kembali? Bagaimana
kalau pria yang baru dikenalnya itu mampu berjuang sepertiku dulu?". Kamu
berpikir, "Bagaimana kalau priaku itu sampai berjuang keras dan
mengalahkan pria yang baru aku kenal? Apa aku akan menerimanya lagi?". Aku
berpikir, "Apakah wanitaku itu sudi untuk menerimaku lagi sedangkan sampai
saat ini dia masih kuat membungkam rindunya untukku?".
Pemikiran kita intinya sama,
sayang. Tapi bagaimana bisa aku merelakan wanitaku itu pergi begitu saja. Aku
ini orang yang terlambat menyadari kebodohanku. Setidaknya aku masih menyadari,
aku masih belum sanggup ditinggalkan olehmu.
Aku
ini orang yang egois dalam urusan mencintaimu. Aku masih menunggumu di ruang
sepi ini dan mengantongi tawamu yang dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar