Sabtu, 22 Oktober 2016

Sebuah Surat (Sahabatku) - Part 4

Teruntuk patah hati terhebatku,


Apa yang sedang kamu kerjakan hari ini, sayang? Aku tau kita berdua pasti lelah. Ingin kita berbagi cerita seperti dulu. Tapi untuk saat ini, kita lebih memilih bungkam dan mengubur keluh kesah untuk kita simpan sendirian. Bagaimana rutinitasmu? Lancar? Apakah kamu tak ingin mendengarkan pendapatku ketika kamu sedang mendapatkan kesulitan? Ya, seperti dulu. Maaf, aku sedikit bernostalgia, kenangan kita terlalu sebentar untuk suatu keindahan yang sempurna.

Kemaren malam, aku bertemu dengan sahabatku. Pria aneh itu. Ya, dia sahabatku sejak lama. Dia seperti seorang konsultan bagiku. Dia mampu memberikan nasehat yang hebat, aku sendiri tak menyangka dia bisa melakukannya. "Bro, dia kayaknya lebih milih cowok itu lah. Kesempatan aku cuma dikit untuk bisa kembali dengan wanitaku itu. Apa aku mundur aja ya?", belum sempat aku menyelesaikan tanyaku, PLAK!, dia memukul kepalaku. "Apa yang kau katakan? Aku kenal kalian berdua. Aku juga tau perjuangan kau dapatin dia gimana. Hanya karena pria yang baru sebentar saja dikenalnya, kau menyerah?, dia berkata dengan keras. Aku masih membela diriku, "Kau bayangkan saja, teman-temannya bahkan waktu wanitaku itu sudah hampir semua dimilikinya.". Lagi-lagi, PLAK!, "Sori, ada nyamuk. Wanita itu tak akan sayang secepat itu. Suka mungkin, sayang secepat itu mustahil.". Aku merasa sedikit lega dengan jawaban yang aku dengar dan aku juga bersyukur kepalaku diciptakan oleh Tuhan dengan bahan dasar yang keras, bukan dari jelly. Tuhan itu Maha Pencipta.

Dia berkata dengan nada lirih, "Dengar aku baik-baik, wanitamu itu, aku kenal dengan baik. Bukankah kau dulu pernah berkata denganku kalau kau itu jenuh dengannya? Bukankah kau dulu mengatakan dia childish? Tapi apa, dia masih memperjuangkanmu lagi, kan? Sekarang, pemikirannya dewasa, bukan dia mencampakkanmu, mungkin saja dia sedang menguji, apakah prianya masih memperjuangkan dia lagi?". Aku berusaha memahami makna yang diucapkan oleh sahabatku itu. "Apa iya dia ingin aku berjuang lagi?", ucapku. "Bagaimana bisa kau masih bertanya seperti itu kalau kau sendiri udah tau jawabnya iya?", dia menimpali tanyaku lagi dengan sebuah tanya.

"Apa yang harus aku lakukan lagi? Aku ingin dia kembali.", tanyaku. "Kau itu sahabatku, aku tau kau bukan anak kecil. Kau akan melakukan sesuai dengan konsep yang ada dalam pikiran kau. Satu hal lagi, kau pernah patah hati sebelumnya, kan? Aku adalah saksi hidup untuk semua kebodohan yang pernah kau buat sebelumnya. Seperti dugaanku, kau sudah menyesali kebodohanmu kali ini dengan serius ya.", jawabnya dengan nada datar. Sahabatku itu tau benar, otakku tidak bekerja dengan benar ketika hatiku ini sedang rusuh. "Ya begitulah. Wanitaku itu, dia orang yang untuk saat ini akan aku perjuangkan dengan benar.", aku berkata dengan mantap. Kemudian, ada hening yang panjang di antara jeda percakapan akhir kami itu.

Asal kamu tau, sayang, kalau aku benar, apa yang aku pikirkan sama dengan yang kamu pikirkan saat ini. Kamu berpikir, "Bagaimana caranya priaku itu berjuang? Bagaimana kalau dia tidak berjuang sekeras dengan pria yang baru aku kenal ini?". Aku berpikir, "Bagaimana caranya wanitaku itu mau melihatku berjuang kembali? Bagaimana kalau pria yang baru dikenalnya itu mampu berjuang sepertiku dulu?". Kamu berpikir, "Bagaimana kalau priaku itu sampai berjuang keras dan mengalahkan pria yang baru aku kenal? Apa aku akan menerimanya lagi?". Aku berpikir, "Apakah wanitaku itu sudi untuk menerimaku lagi sedangkan sampai saat ini dia masih kuat membungkam rindunya untukku?".

Pemikiran kita intinya sama, sayang. Tapi bagaimana bisa aku merelakan wanitaku itu pergi begitu saja. Aku ini orang yang terlambat menyadari kebodohanku. Setidaknya aku masih menyadari, aku masih belum sanggup ditinggalkan olehmu.

Aku ini orang yang egois dalam urusan mencintaimu. Aku masih menunggumu di ruang sepi ini dan mengantongi tawamu yang dulu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar