Teruntuk patah hati terhebatku,
Aku mendengar kalau kamu
sedang sakit, sayang. Benarkah itu? Jangan menyembunyikannya dariku. Jangan
berlagak sok kuat di hadapanku, sayang. Aku mengkhawatirkanmu lebih dari
siapapun ketika kamu sakit. Izinkah aku mengkhawatirkanmu walau hanya kamu
bolehkan sekejap. Menangislah sepuasmu, sayang. Buat wajahmu indahmu basah
dengan tangisanmu. Aku tak peduli kamu
marah, kesal atau bahkan menangis, aku akan tetap khawatir. Lakukan apapun yang
ingin kamu lakukan. Sampai pada akhirnya, aku akan mendekapmu erat, sangat
erat, hingga kamu sadar bahwa dekapanku lah yang kamu perlukan saat ini.
Sore ini kita berjumpa,
sayang. Hitungan menit perjumpaan kita itu terasa sangat cepat bagiku. Waktumu
yang berharga hampir tak pantas lagi untuk aku minta. Aneh rasanya, dulu
wanitaku itu akan selalu mencegahku untuk pulang, ingin rasanya dia
menghentikan waktu dan menghabiskan waktu yang terhenti itu denganku. Sekarang,
kamu menanggapiku sebentar lalu mengacuhkanku dalam diammu. Ini yang aku
takutkan, sayang, aku tau ketika kamu berbohong. Aku tau semuanya. Kamu itu
pembohong yang bodoh di hadapanku. Hari ini, tepatnya sore tadi, aku sadar,
apakah di hadapanku ini pembohong yang jenius atau pembungkam rasa yang hebat?
"Apakah kamu masih mau
aku berjuang lagi?", tanyaku. Aku menatapmu dengan lama. Kamu membalas
menatapku. Aku tau satu hal, ketika kamu berbohong, kamu tak berani kontak mata
denganku. "Terserah apa yang mau kamu lakukan. Kamu bebas untuk berjuang
atau berhenti di sini. Aku juga mengatakan hal yang sama kepada pria itu. Aku
hanya pasrah akan keadaan sekarang.". Aku menyatu dengan hening,
"Iyalah kalau gitu. Aku pulang dulu.". Masih dalam keadaanku
berpikir, kamu setengah berteriak mengatakan, "Hati-hati".
Dulu kita pernah membahas ini,
sayang. "Kamu kenapa jarang bilang sayang kepadaku lagi? Apa kamu udah
berubah?", kamu bertanya dengan nada merajuk yang lucu. Sulit untuk aku
definiskan, ya intinya kamu itu dulu seorang yang manja di dekatku.
"Sayang itu gak melulu soal Aku cinta Kamu atau Aku sayang Kamu. Ketika
aku bilang, hati-hati, cepat sembuh atau perhatian kecil yang lain, itu wujud
rasa sayang juga, kan?", ujarku. Kamu mengamini kalimatku ini lalu kamu
menambahkan, "Dasar, sok tua!".
Aku senang masih bisa
mendengarkan "hati-hati" darimu. Aku senang kata itu masih terucap
dari wajahmu yang datar ketika bertemu denganku. Aku senang kamu masih
memperhatikan hal-hal kecil di dekatku sampai saat ini. Tetaplah seperti itu.
Jangan sungkan, aku bukan orang lain. Aku masih orang yang sama yang dulu
membuatmu bahagia. Jangan pandang aku seperti orang yang mematahkan hatimu. Aku
memang melakukan kesalahan bodoh. Tapi aku masih sanggup mempertanggungjawabkan
kesempatan kedua yang nantinya akan kamu berikan.
Dari pertemuan kita tadi, ada
beberapa hal yang aku takutkan terjadi, sayang. Aku takut kamu melangkah
terlalu jauh sementara aku berjuang di sini. Aku takut kamu tak memiliki waktu
yang lebih lama lagi menungguku. Aku mempunyai banyak rencana candangan atas
setiap tindakan yang aku lakukan. Tapi ketika aku memutuskan untuk memilihmu
menjadi pasanganku, aku tak mempunyai rencana lain. Sekarang, ketika kamu
meninggalkanku, apa yang harus aku lakukan? Aku tak mempunyai rencana lain
selain membuatmu percaya, aku lah yang terbaik.
Aku takut tak lagi bisa
melihat wanitaku yang ekspresif. Pandanganmu kepadaku tadi seakan tak lagi
menunjukkan wajah ekspresifmu. Kamu membungkam semua perasaanmu. Kamu seakan
membunuh sementara rasa pedulimu kepadaku. Kamu menghilangkan semuanya. Aku tak
sanggup melakukannya, sayang. Rindu padamu saja tak bisa aku tahan. Bagaimana
bisa kamu menyuruhku untuk tak lagi berjuang?
Aku takut kamu jenuh dengan
rasa perhatianku. Aku takut kamu jenuh atas rasa yang aku berikan belakangan
ini. Ya, dulu, aku mengatakan jenuh kepadamu atas sikapmu yang kekanak-kanakan.
Aku jenuh dengan semua sikapmu yang tak mau menyelesaikan masalah kita. Aku
memang menyadari kebodohanku itu, tak seharusnya aku mengatakan hal seperti itu
kepada wanitaku. Aku memikirkan kata jenuh yang aku ucapkan dulu. Aku
mengulangnya secara terus menerus sampai aku sadar, kamu lebih berarti dari
pada kata jenuh bodohku itu. Aku takut, kini kamu sudah jauh lebih dewasa. Aku
takut kamu menganggapku kekanakan dengan semua perhatian yang aku berikan. Sayang,
aku mohon jangan berpikir seperti itu, dengarkan kesungguhanku itu. Omongan
maafku itu bukan hanya kiasan semata, itu yang harus kamu percaya.
Banyak rasa takut yang muncul
di pikiranku, sayang. Kalau aku tuliskan semua itu di surat ini, aku yakin kamu
muak membacanya. Aku yakin kamu akan berkata, "Kenapa priaku itu
mengkhawatirkanku sampai hal sekecil itu?". Aku ini orang yang selalu
memperhatikanmu dalam diamku, dalam candaanku dan dalam perbuatanku. Kenapa
kamu masih berkata aku secuek itu? Aku tetap selalu memperhatikanmu walaupun
mungkin kamu tak memerlukannya untuk saat ini.
Aku
tak ingin nyaman berteman dengan kesepian terlalu lama. Kembali lah, sayang.
sihhh galau huahahah
BalasHapusWahahaha. Ya begitulah! :))
Hapus