Sabtu, 22 Oktober 2016

Sebuah Surat (Takutku) - Part 5

Teruntuk patah hati terhebatku,


Aku mendengar kalau kamu sedang sakit, sayang. Benarkah itu? Jangan menyembunyikannya dariku. Jangan berlagak sok kuat di hadapanku, sayang. Aku mengkhawatirkanmu lebih dari siapapun ketika kamu sakit. Izinkah aku mengkhawatirkanmu walau hanya kamu bolehkan sekejap. Menangislah sepuasmu, sayang. Buat wajahmu indahmu basah dengan tangisanmu.  Aku tak peduli kamu marah, kesal atau bahkan menangis, aku akan tetap khawatir. Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan. Sampai pada akhirnya, aku akan mendekapmu erat, sangat erat, hingga kamu sadar bahwa dekapanku lah yang kamu perlukan saat ini.

Sore ini kita berjumpa, sayang. Hitungan menit perjumpaan kita itu terasa sangat cepat bagiku. Waktumu yang berharga hampir tak pantas lagi untuk aku minta. Aneh rasanya, dulu wanitaku itu akan selalu mencegahku untuk pulang, ingin rasanya dia menghentikan waktu dan menghabiskan waktu yang terhenti itu denganku. Sekarang, kamu menanggapiku sebentar lalu mengacuhkanku dalam diammu. Ini yang aku takutkan, sayang, aku tau ketika kamu berbohong. Aku tau semuanya. Kamu itu pembohong yang bodoh di hadapanku. Hari ini, tepatnya sore tadi, aku sadar, apakah di hadapanku ini pembohong yang jenius atau pembungkam rasa yang hebat?

"Apakah kamu masih mau aku berjuang lagi?", tanyaku. Aku menatapmu dengan lama. Kamu membalas menatapku. Aku tau satu hal, ketika kamu berbohong, kamu tak berani kontak mata denganku. "Terserah apa yang mau kamu lakukan. Kamu bebas untuk berjuang atau berhenti di sini. Aku juga mengatakan hal yang sama kepada pria itu. Aku hanya pasrah akan keadaan sekarang.". Aku menyatu dengan hening, "Iyalah kalau gitu. Aku pulang dulu.". Masih dalam keadaanku berpikir, kamu setengah berteriak mengatakan, "Hati-hati". 

Dulu kita pernah membahas ini, sayang. "Kamu kenapa jarang bilang sayang kepadaku lagi? Apa kamu udah berubah?", kamu bertanya dengan nada merajuk yang lucu. Sulit untuk aku definiskan, ya intinya kamu itu dulu seorang yang manja di dekatku. "Sayang itu gak melulu soal Aku cinta Kamu atau Aku sayang Kamu. Ketika aku bilang, hati-hati, cepat sembuh atau perhatian kecil yang lain, itu wujud rasa sayang juga, kan?", ujarku. Kamu mengamini kalimatku ini lalu kamu menambahkan, "Dasar, sok tua!".

Aku senang masih bisa mendengarkan "hati-hati" darimu. Aku senang kata itu masih terucap dari wajahmu yang datar ketika bertemu denganku. Aku senang kamu masih memperhatikan hal-hal kecil di dekatku sampai saat ini. Tetaplah seperti itu. Jangan sungkan, aku bukan orang lain. Aku masih orang yang sama yang dulu membuatmu bahagia. Jangan pandang aku seperti orang yang mematahkan hatimu. Aku memang melakukan kesalahan bodoh. Tapi aku masih sanggup mempertanggungjawabkan kesempatan kedua yang nantinya akan kamu berikan.

Dari pertemuan kita tadi, ada beberapa hal yang aku takutkan terjadi, sayang. Aku takut kamu melangkah terlalu jauh sementara aku berjuang di sini. Aku takut kamu tak memiliki waktu yang lebih lama lagi menungguku. Aku mempunyai banyak rencana candangan atas setiap tindakan yang aku lakukan. Tapi ketika aku memutuskan untuk memilihmu menjadi pasanganku, aku tak mempunyai rencana lain. Sekarang, ketika kamu meninggalkanku, apa yang harus aku lakukan? Aku tak mempunyai rencana lain selain membuatmu percaya, aku lah yang terbaik.

Aku takut tak lagi bisa melihat wanitaku yang ekspresif. Pandanganmu kepadaku tadi seakan tak lagi menunjukkan wajah ekspresifmu. Kamu membungkam semua perasaanmu. Kamu seakan membunuh sementara rasa pedulimu kepadaku. Kamu menghilangkan semuanya. Aku tak sanggup melakukannya, sayang. Rindu padamu saja tak bisa aku tahan. Bagaimana bisa kamu menyuruhku untuk tak lagi berjuang?

Aku takut kamu jenuh dengan rasa perhatianku. Aku takut kamu jenuh atas rasa yang aku berikan belakangan ini. Ya, dulu, aku mengatakan jenuh kepadamu atas sikapmu yang kekanak-kanakan. Aku jenuh dengan semua sikapmu yang tak mau menyelesaikan masalah kita. Aku memang menyadari kebodohanku itu, tak seharusnya aku mengatakan hal seperti itu kepada wanitaku. Aku memikirkan kata jenuh yang aku ucapkan dulu. Aku mengulangnya secara terus menerus sampai aku sadar, kamu lebih berarti dari pada kata jenuh bodohku itu. Aku takut, kini kamu sudah jauh lebih dewasa. Aku takut kamu menganggapku kekanakan dengan semua perhatian yang aku berikan. Sayang, aku mohon jangan berpikir seperti itu, dengarkan kesungguhanku itu. Omongan maafku itu bukan hanya kiasan semata, itu yang harus kamu percaya.

Banyak rasa takut yang muncul di pikiranku, sayang. Kalau aku tuliskan semua itu di surat ini, aku yakin kamu muak membacanya. Aku yakin kamu akan berkata, "Kenapa priaku itu mengkhawatirkanku sampai hal sekecil itu?". Aku ini orang yang selalu memperhatikanmu dalam diamku, dalam candaanku dan dalam perbuatanku. Kenapa kamu masih berkata aku secuek itu? Aku tetap selalu memperhatikanmu walaupun mungkin kamu tak memerlukannya untuk saat ini.


Aku tak ingin nyaman berteman dengan kesepian terlalu lama. Kembali lah, sayang.

2 komentar: