Rabu, 19 Oktober 2016

Sebuah Surat (Siang Itu) - Part 1

Teruntuk patah hati terhebat,


Hingga detik ini, aku masih teringat matamu yang sembab, senyummu yang tipis, semua intonasi yang kamu gunakan pada saat percakapan kita siang tadi. Kita tak sanggup lagi bertatapan. Menoleh pun hanya sedikit. Hanya sebuah tanda bahwa kamu sudah tidak nyaman berada di dekapanku berdua saat itu. Aku berusaha memahami semua apa yang kamu katakan. Kebingunganmu, bimbangmu, semuanya. Aku bahkan meredam kegelisahan yang aku punya terlebih dahulu. Aku masih mengatur nafas yang seakan masih belum siap untuk memburu kamu dengan semua pertanyaan yang ada di benakku. 'Kita sudah sampai di sini ya?', ucapku dengan nada lirih. Aku berusaha mengambil nada dengan tempo sepelan mungkin, aku tak sanggup apabila ada yang mendengar percakapan sendu yang kita lakukan. Kamu kaget. Ekspresi yang tak berani lagi aku tatap dalam waktu yang lama. 'Aku bingung. Aku berusaha menetralkan semua rasa aku ke kamu. Itu doang kok. Aku gak berubah.', aku masih mencerna kalimat yang telah kau ucapkan barusan. Aku memiliki waktu yang sedikit untuk berjumpa denganmu, tapi otakku lebih lambat bekerja dari biasanya. Hatiku yang memegang kendali saat ini.

Matamu yang sembab, aku ingin membasuh matamu yang sembab itu dengan tertawa yang biasa kita lakukan. Aku sudah tak bisa melakukannya lagi. Apakah sedihmu yang menyebabkan matamu sampai se-sembab itu? Apakah masih aku yang menjadi alasan sembab di matamu? Aku masih berharap dengan jawaban, iya, walaupun pada akhirnya aku lah yang akan meminta maaf sampai membuat mata indahmu menjadi sembab seperti itu. Apakah aku masih terlalu egois untuk jawaban iya itu?

Semua senyummu yang dulu kau pancarkan dengan lebar, sirna. Senyummu dipersempit. Aku hanya menatap bahwa senyum yang kamu lontarkan hanya segaris, bahkan kurang. Benar-benar seadanya.

Intonasi yang kamu gunakan terlalu datar. Aku belum pernah mendengar kamu berbicara denganku menggunakan intonasi seperti itu. Tanpa tekanan, tanpa tambahan. Benar-benar kalimat seadanya namun tepat tujuan yang kamu katakan.

Perubahan ini terlalu cepat bagiku. Bagaimana bisa hanya dalam tempo beberapa hari saja, orang yang sudah aku kenal lama berubah seperti orang asing yang mengerikan. Orang asing yang berusaha untuk melupakan semuanya dan kembali berjalan tanpa pernah melihat ke belakang lagi. 'Aku gak berubah. Aku dari kemaren udah nahan marah sama kamu dan ini lah sekarang.', tegasmu. Berubah? Otakku masih mencerna kata itu. Bagimana mungkin kamu gak berubah seperti orang asing yang tak ku kenal ini? Bagaimana aku yang sudah mengenalmu lama tidak menyadari hal ini? Bagaimana bisa aku melewatkan semua hal ini? Puluhan bahkan ratusan pertanyaan mendengung di kepala ku saat ini. Tinggal menunggu waktu saja sampai mulutku tak kuasa untuk menahan bongkahan pertanyaan yang masih terbendung.

Semua ini terasa seperti de javu bagiku. Aku pernah berada di posisi seperti ini. Patah hati terhebat akan terulang lagi kali ini. Mematung berdiri seperti ini. Berpikir secara tersendat seperti ini. Tak berani menatap satu sama lain. Kita berubah menjadi orang asing. Semuanya. Sama. Bukan bermaksud membandingkan kamu dengan masa laluku, tapi kali ini, ini adalah patah hati terhebat dari yang terhebat.

Telingaku tidak kuat lagi mendengar apa yang kamu sampaikan. Aku takut, semua yang aku terka bakal terjadi lagi. Aku takut semua pemikiran buruk yang akan kamu ucapkan, terjadi. Cukup. Ini saja yang harusnya aku dengar. Bagaimana bisa aku mendengarmu sampai habis kalau aku tidak sanggup untuk menatapmu? Alasan yang aku berikan untuk pamit seakan memberi kesan bahwa aku adalah orang yang lemah. Bukan kamu yang terlalu nyaman bersandar denganku, aku lah orang yang selama ini terlalu nyaman memberikan tempat sandaran. Karena ketika kamu pergi, tubuhku terlalu ringan untuk aku gerakkan sendiri.

'Hati-hati', teriakmu. Aku tak sanggup menoleh. Kamu terlalu sempurna menjadi sosok yang bersandar denganku. Kamu bahkan masih sempat mengkhawatirkanku. Kamu seakan masih sanggup memberikan perhatian kecil yang masih aku rindukan hingga saat ini.


Tubuhku terlalu ringan untuk aku gerakkan sendiri. Aku mohon, kembalilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar