Kamis, 20 Oktober 2016

Sebuah Surat (Temanmu) - Part 2

Teruntuk patah hati terhebatku,


Apa kabar kamu hari ini? Apakah aku melewatkan berita terbaru tentangmu hari ini? Aku terlalu rindu untuk mendengarkan semua ceritamu, baik yang kamu sampaikan secara langsung dengan ekspresif atau melalui via telpon. Semuanya sama saja bagiku. Suaramu, nafasmu dan semua nada bicara yang ekspresif itu, aku rindu.

Aku masih belum sanggup melupakan kejadian kita siang itu. Semuanya, tanpa terkecuali yang tertinggal. Aku masih belum bisa melupakan tatapan sinis dari temanmu waktu itu. Aku tak terlalu menghiraukannya siang itu. Tapi sampai saat ini aku selalu terpikir, apa yang telah aku perbuat?

Senyumnya yang sinis. Aku terpikir sekali lagi, apa yang telah aku lakukan? Dulu, temanmu mampu bercengkrama hangat dengaku. Dulu, teman-temanmu selalu menyapaku dengan hangat ketika aku berdua menghabiskan waktu bersamu. Dulu, teman-temanmu berbagi tawa denganku saat kita bersama. Sekarang? Hanya sebuah tatapan sinis yang aku dapat.

Aku baru bisa berpikir hari ini, setelah kejadian siang itu, otakku mulai bisa bekerja dengan baik lagi. Aku menyakitimu. Aku lah orang yang membuat hatimu sakit. Aku lah orang yang mungkin akan kamu benci di dunia ini. Ya, karena itu. Tatapan sinis itu ditujukan kepadaku karena alasan itu.

Teman-temanmu benar. Mereka benar. Semua yang mereka sarankan kepadamu, benar. Tanpa terkecuali. Tanpa sedikit pun kesalahan. Ya, kebenaran mutlak. Jika aku adalah salah satu teman dekatmu yang berada di sampingmu ketika kamu disakiti olehku, aku mungkin akan menasehatimu dan memberikan saran lebih keras dari apa yang teman-temanmu lakukan saat ini. Aku akan meneriaki wajahmu dengan kalimat, 'Tinggalkan saja si brengsek kecil itu. Kau lebih pantas bahagia dengan yang lain. Tinggalkan dia. Biarkan dia berteman dengan kesepian.'. Aku akan meneriakimu dengan kalimat itu secara terus menerus. Akan aku ulangi sampai kamu benar-benar membenciku dan berjalan pergi tanpa pernah melihat ke arahku lagi.

Apakah kamu tidak sanggup lagi menceritakan tentang kehebatan hubungan kita dulu kepada teman-temanmu? Apakah kamu sekarang sudah pasrah dan tak mampu lagi menceritakan kepada mereka sebahagia apa kamu dulu? Aku sadar, tak ada lagi yang mampu kamu banggakan dari aku yang sudah lemah ini. Lemah dengan keadaan yang kita alami sekarang. Sekuat apapun aku menjelaskan ke kamu, selemah itu pula aku saat mendengarkan jawaban yang terlontar dari ucapmu, sayang.

Sayang? Masih pantaskah kata ini terdengar di telingamu oleh seorang brengsek kecil yang menghancurkan hatimu? Aku sudah tak tau lagi kata apa yang aku lontarkan, aku hanya mau kamu menoleh sebentar, melihatku, lalu kembali menetap di sini.

Sayang, dengarkan aku kali ini. Tetaplah pada prinsipmu untuk meninggalkan aku. Jangan pedulikan kondisiku saat ini. Aku tak akan pernah mau melihat kamu dipandang rendah oleh teman-temanmu hanya karena menerimaku kembali. Aku tau, kamu adalah seseorang yang sangat memegang prinsip. Jangan membantahku. Pergilah dan jangan menoleh ke sini.

Kamu berkata bahwa pemikiran kamu masih anak-anak. Masih jauh dari kata dewasa. Kamu salah, sayang. Setiap keputusan diambil dari pemikiran yang matang. Aku sadar, kali ini, seorang yang aku kenal, sudah sangat dewasa. Tetaplah pada keputusanmu dan seandainya kembali, kembali lah bukan karena sebuah alasan, tapi kembali lah untuk memulai lembaran kita yang baru.


Senang rasanya memanggilmu dengan panggilan sayang. Apakah telingamu masih sudi mendengar kata itu? Aku tak mau berteman dengan kesepian, sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar