Teruntuk
patah hati terhebatku,
Apa kabar kamu hari ini?
Apakah aku melewatkan berita terbaru tentangmu hari ini? Aku terlalu rindu
untuk mendengarkan semua ceritamu, baik yang kamu sampaikan secara langsung
dengan ekspresif atau melalui via telpon. Semuanya sama saja bagiku. Suaramu,
nafasmu dan semua nada bicara yang ekspresif itu, aku rindu.
Aku masih belum sanggup
melupakan kejadian kita siang itu. Semuanya, tanpa terkecuali yang tertinggal.
Aku masih belum bisa melupakan tatapan sinis dari temanmu waktu itu. Aku tak
terlalu menghiraukannya siang itu. Tapi sampai saat ini aku selalu terpikir,
apa yang telah aku perbuat?
Senyumnya yang sinis. Aku
terpikir sekali lagi, apa yang telah aku lakukan? Dulu, temanmu mampu
bercengkrama hangat dengaku. Dulu, teman-temanmu selalu menyapaku dengan hangat
ketika aku berdua menghabiskan waktu bersamu. Dulu, teman-temanmu berbagi tawa
denganku saat kita bersama. Sekarang? Hanya sebuah tatapan sinis yang aku
dapat.
Aku baru bisa berpikir hari
ini, setelah kejadian siang itu, otakku mulai bisa bekerja dengan baik lagi.
Aku menyakitimu. Aku lah orang yang membuat hatimu sakit. Aku lah orang yang
mungkin akan kamu benci di dunia ini. Ya, karena itu. Tatapan sinis itu
ditujukan kepadaku karena alasan itu.
Teman-temanmu benar. Mereka
benar. Semua yang mereka sarankan kepadamu, benar. Tanpa terkecuali. Tanpa
sedikit pun kesalahan. Ya, kebenaran mutlak. Jika aku adalah salah satu teman
dekatmu yang berada di sampingmu ketika kamu disakiti olehku, aku mungkin akan
menasehatimu dan memberikan saran lebih keras dari apa yang teman-temanmu
lakukan saat ini. Aku akan meneriaki wajahmu dengan kalimat, 'Tinggalkan saja
si brengsek kecil itu. Kau lebih pantas bahagia dengan yang lain. Tinggalkan
dia. Biarkan dia berteman dengan kesepian.'. Aku akan meneriakimu dengan
kalimat itu secara terus menerus. Akan aku ulangi sampai kamu benar-benar
membenciku dan berjalan pergi tanpa pernah melihat ke arahku lagi.
Apakah kamu tidak sanggup lagi
menceritakan tentang kehebatan hubungan kita dulu kepada teman-temanmu? Apakah
kamu sekarang sudah pasrah dan tak mampu lagi menceritakan kepada mereka
sebahagia apa kamu dulu? Aku sadar, tak ada lagi yang mampu kamu banggakan dari
aku yang sudah lemah ini. Lemah dengan keadaan yang kita alami sekarang. Sekuat apapun aku
menjelaskan ke kamu, selemah itu pula aku saat mendengarkan jawaban yang terlontar
dari ucapmu, sayang.
Sayang? Masih pantaskah kata
ini terdengar di telingamu oleh seorang brengsek kecil yang menghancurkan
hatimu? Aku sudah tak tau lagi kata apa yang aku lontarkan, aku hanya mau kamu
menoleh sebentar, melihatku, lalu kembali menetap di sini.
Sayang, dengarkan aku kali
ini. Tetaplah pada prinsipmu untuk meninggalkan aku. Jangan pedulikan kondisiku
saat ini. Aku tak akan pernah mau melihat kamu dipandang rendah oleh
teman-temanmu hanya karena menerimaku kembali. Aku tau, kamu adalah seseorang
yang sangat memegang prinsip. Jangan membantahku. Pergilah dan jangan menoleh
ke sini.
Kamu berkata bahwa pemikiran
kamu masih anak-anak. Masih jauh dari kata dewasa. Kamu salah, sayang. Setiap
keputusan diambil dari pemikiran yang matang. Aku sadar, kali ini, seorang yang
aku kenal, sudah sangat dewasa. Tetaplah pada keputusanmu dan seandainya
kembali, kembali lah bukan karena sebuah alasan, tapi kembali lah untuk memulai
lembaran kita yang baru.
Senang
rasanya memanggilmu dengan panggilan sayang. Apakah telingamu masih sudi
mendengar kata itu? Aku tak mau berteman dengan kesepian, sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar